OPINI - Beberapa waktu lalu, di tahun-tahun politik yang panas, saya dalam kondisi pelik dalam mengambil keputusan. Entah mengikuti arus, entah melawan. Saya gamang melangkah, gugup bertindak, ruang gerak yang sempit kian merumitkan.
Sementara dalam kekakuan, waktu terus berjalan. Ia (waktu) sedikit juga tidak mau menunggu. Keputusan yang akan saya ambil memang harus cepat, sebab akan menentukan nasib jutaan orang, bahkan arah dan nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya nakhodai. Sungguh teramat pelik.
Sebagai politisi, saya memang terbiasa dihempas badai, sudah sering dalam kondisi tak enak. Tapi waktu itu, badai yang datang tak biasa. Ia beriringan dengan gemuruh yang hebat.
Di ujung kepasrahan, saya menemui beberapa sepuh, orang-orang tua yang kenyang pengalaman. Minta petunjuk. Saya memang terbiasa seperti itu, tak mau buru-buru memutuskan sesuatu.
Bagi saya, musyawarah mufakat, adalah harga mati, apalagi jika keputusan yang akan diambil menyangkut hajat orang banyak.
Dari sekian banyak sepuh yang saya temui, ada satu orang yang hanya berucap satu kalimat. “Berpikirlah seperti orang Minangkabau, ” katanya. Ini satu kata yang magis, saya tersentak, jaga dari keragu-raguan.
Ya, saya harus berpikir seperti orang Minang. Orang-orang cadiak pandai dari Pulau Andalas. Orang-orang yang dalam memutuskan suatu perkara penuh kehati - hatian, samuik tapijak
indak mati.
Para pemikir Minangkabau selalu punya spirit dalam bertindak, dan tak pernah gamang dalam mengambil keputusan. Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak ka Janiah. Demikian falsafahnya.
Saya terlecut untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan. “Berpikirlah seperti orang Minang, ” kata itu terngiang.
Ya, pada akhirnya, saya “menjadi” orang
Minang dalam mengambil keputusan pelik itu, dan saya yakini, keputusan yang saya ambil tepat, nasib politik banyak orang terselamatkan, PKB melaju dan kini masuk dalam deretan partai pemenang dalam pemilihan umum.
Setelah badai politik berlalu, saya kian gandrung untuk “menjadi” orang Minang, dalam artian selalu menyelami kebiasaan-kebiasaan Minang, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Semakin saya mempelajari Minangkabau, semakin saya jatuh cinta. Barangkali, nilai-nilai yang terkandung dalam adat dan budaya Minang pulalah yang membuat Agus Salim bisa menjadi diplomat ulung, menjadi pencerah bangsa. Kekaguman pada Minangkabau itu pula yang membuat saya berkali-kali datang ke Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi pusat Minangkabau, datang ke Sumbar, bagi saya seperti datang ke gudang ilmu. Segala ada.
Setiap mengunjungi Sumbar, saya selalu menyempatkan berdiskusi. Dengan siapa saja. Saya yakin, orang Minang memiliki doktrin politik yang kuat, yang tak diajarkan di bangku sekolah. Ilmu politik yang mereka punya diasah dari surau ke surau, lapau ke lapau, hingga ke tanah tanah perantauan.
Saya suka berlama-lama di surau, duduk di lapau, mendengar ota orang Minangkabau. Kalau ada waktu luang di Jakarta, saya main-main ke Tanah Abang, tempat orang Minang banyak berniaga. Sekadar berdiskusi dan bertukar pikiran. Segala hal didiskusikan dengan bernas.
Surau dan lapau memang menjadi wadah penting dalam mengasah keterampilan diplomasi orang Minangkabau. Itulah kenapa tak ada orang Minang yang buta politik, sekalipun dia tidak bersekolah tinggi.
Kecerdasan yang dimiliki oleh orang Minang, berbanding lurus dengan iman yang dimiliki.
Tingkat religious orang Minang memang tidak akan bisa ditakar, keputusan yang diambil orang Minang, tidak semata didasari oleh pemikiran duniawi semata, tapi juga pemikiran religious.
Keseimbangan antara ilmu dan agama membuat setiap keputusan yang diambil jarang meleset selalu tepat.
Minangkabau, baik secara suku, budaya dan sejarah, merupakan sebuah kemashyuran. Baik di masa silam, atau di masa sekarang.
Majalah Tempo pada tahun 2000 bahkan mencatat, enam dari 10 tokoh penting di negeri ini pada abad 20, merupakan orang Minangkabau. Bahkan, dari empat pahlawan yang menjadi pendiri Republik Indonesia, tiga orang merupakan putera Minangkabau.
Lipatan kemashyuran Minangkabau memang tak bisa dimungkiri, tengoklah sejarah, bagaimana orang Minangkabau mengorbankan segalanya untuk bangsa ini.
Terlepas dari nama besar Bung Hatta, Inyiak Canduang, Tan Malaka, Tuanku Imam Bonjol dan deretan nama besar lainnya, gerakan civil society di Ranah Minang yang berkiblat pada nasionalisme memang tidak bisa dikesampigkan begitu saja.
Pesawat ketiga yang dipunyai Indonesia dibeli dengan harta sumbangan perempuan - perempuan Minang. Bundo kanduang rela melepaskan gelang emasnya, liontin bahkan antingnya untuk pembeli pesawat Avro Anson RI-003.
Peristiwa bersejarah pada 27 September 1947 membuktikan, kalau bangsa dan negara ini adalah cinta pertama orang Minangkabau dalam ruang politik. Cinta yang melanda seluruh putra-putrinya tanpa terkecuali.
Indonesia bagi orang Minang adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Saya sejujurnya, mengangkat topi atas sikap sejarah yang dilakukan.
“Menjadi” orang Minangkabau secara pemikiran, bagi saya suatu kebanggaan. Bahkan, gagasan - gagasan yang menjadi penopang tumbuh kembangnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dewasa ini banyak didasari oleh filosofi Minangkabau, dan terpengaruh oleh langkah politisi diplomasi pendahulu dari negeri cadiak pandai itu. Politik yang dimainkan orang Minang merupakan politik murni. Instrumennya kejujuran, amanah dan totalitas.
Tiga instrumen itu memunculkan hirarki politik yang dinamis. Orang Minangkabau tidak mengenal pola kepemimpinan otoriter.
Beda dengan daerah lain, pemimpin di Minangkabau bukan pemimpin yang dikultuskan. Mereka, yang ditunjuk sebagai pemimpin, hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Artinya, Demokrasi begitu hidup.
Saya mengira, demokrasi yang paling bersih itu ada di Minangkabau. Bahkan, siapa saja di Minangkabau, tanpa menunjuk latar, asal, pangkat dan jabatan, punya hak untuk mengkritik. "Rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah". Artinya, ketaatan orang Minangkabau pada pemimpinnya, berlaku Ketika pemimpinnya adil dan amanah. Tapi, ketika pemimpinnya sudah zalim, keluar dari jalur, masyarakat Minangkabau akan lantang bersuara, mengkritik.
Filosofi inilah yang pada akhirnya membuat saya paham, kenapa orang Minang tidak punya urat takut dalam membela kebenaran, tajam mengkritik, dan keras dalam melawan.
Mereka memang sudah diajarkan sedari kecil untuk terus menjaga nilai-nilai luhur, termasuk nilai dalam berpolitik. Jika nilai itu dilanggar, reaksi keras akan dilakukan.
Baca juga:
Rekam Jejak Anies di Jakarta
|
Minangkabau, bagi saya adalah harapan di lekuk-lekuk Bukit Barisan, wawasan kebangsaan mekar secara alami. Orang - orang Minangkabau, berwatak keras tentang kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah jalan buntu. Tak bisa dibelok-belitkan. Harga mati. Itu kenapa, pada akhirnya banyak orang-orang Minangkabau yang bersuara lantang, melawan sesuatu yang menurut mereka pantas dilawan.
Saya terkesima degan sikap Keminangan demikian, dan selalu berharap bisa “menjadi” orang Minang seutuhnya.
JAKARTA, 17 Juni 2021
Muhaimin Iskandar
Wakil Ketua DPR RI